'Kita'

 9 Maret 2015 pukul 10.24 malam.
Aku mulai menulis cerita ini dengan ketikan-ketikan di layar laptop ku. Sudah sejak semalam aku ingin menuliskan sesuatu, tetapi tidak kesampaian. Banyak hal yang ingin aku ungkapkan tapi tak satupun bisa ku utarakan.
8 Maret 2015 malam adalah salah satu malam yang melelahkan, selain karena kehidupan pendidikanku tetapi juga karena perasaanku. Malam itu aku dan dia memutuskan untuk menonton film guna melepas stress, juga supaya bisa bertemu untuk melepas rindu. Senang sekali rasanya meskipun kau melewati hari yang melelahkan tapi kau bisa menutup harimu bersama dengan dia yang kau sayangi. Aku beruntung bukan? Harusnya iya.
                Hampir sempurna malam itu untuk kami, tetapi ternyata  ‘Api’ itu menyala, merusak suasana hati yang semula tenang tanpa ada gangguan. Keeegoisan kami.
Aku tidak tahu ada apa denganku akhir-akhir ini, ada apa dengan dia, ada apa dengan kami.
                Sewaktu menunggu film itu dimulai, kami masih baik-baik saja, hingga akhirnya sikap masing-masing berubah menjadi menjengkelkan bagi satu sama lain. Tidak tahu ada apa, tidak tahu karena apa, kami berdua memang sama-sama ingin dimengerti, jika kami begitu, lalu siapa yang akan mengerti?
                Ini pertama kalinya aku merasa seperti menonton film seorang diri, menatap layar lebar itu dengan rasa sepi padahal nyatanya dia berada tepat di sampingku. Dia yang selalu menggenggam tanganku ketika kami sedang menonton, padahal filmnya bukan film horror, tapi genggamannya tak kalah seperti genggamannya saat ingin menenangkan aku jika aku sedang ketakutan. Namun kali ini tidak. Kali ini dia sibuk menekan huruf-huruf yang ada di tab-nya, sedang bertukar pesan dengan rekan usahanya. Tak apalah, mungkin memang rezekinya hari ini banyak, pikirku dalam hati. Sengaja ku senderkan tanganku pada senderan kursinya, ingin mengatakan bahwa kulitku sudah dingin seperti biasanya. Biasanya dia akan langsung mengenggam tanganku dan memasukkannya ke dalam jaketnya, agar tanganku hangat. Tetapi kali ini, dia lekas melepaskan jaketnya dan memberikannya padaku, lalu dia kembali dengan tab-nya. Tanganku memang tidak lagi merasakan udara dingin, tetapi tak pula merasakan ‘kehangatan’ itu.
                Pulang dari menonton film, kami hanya bisa saling membisu, mungkin sedang menerka-nerka pikiran satu sama lain. Dia mengantarku pulang, aku masih ingin berbincang lebih lama dengannya, tapi sudah agak lama aku duduk di sampingnya, menoleh padaku barang 1 menitpun tidak. Lalu aku mengucapkan selamat malam dan memutuskan untuk kembali ke kost-ku, meskipun sebenarnya tidak. Aku terus menungguinya dari balik tembok , melihat apakah dia menyusulku atau tidak, apakah dia memanggilku untuk kembali atau tidak, tapi ternyata tidak. Dia masih asyik dengan usahanya. Di luar dingin, aku bisa saja masuk ke kamar lalu segera tidur dengan selimutku yang hangat, tapi aku khawatir, bagaimana jika dia tetap duduk di luar kedinginan dan ingin mengobrol denganku? Aku pun kembali menghampirinya, bertanya mengapa ia belum beranjak juga, dan dia berkata karena pekerjaannya belum selesai. Ah, pekerjaannya, bukan aku. Bodoh sekali aku berharap sesuatu yang muluk-muluk. Dengan malu aku akhirnya mengatakan selamat malam sekali lagi, berkata padanya bahwa aku ingin kembali ke kamarku, padahal pada akhirnya aku hanya bersembunyi di gang itu memandanginya sampai dia beranjak. Kutahan rasa lelah dan dingin yang menghampiri kaki ku, kaos dan rok pendek yang ku kenakan tetap tak bisa menghalau dinginnya, tetap tak bisa mengalahkan kehangatan genggaman tangannya.
                Dia tak kunjung beranjak, tak juga mengirimiku pesan, tak juga menyusulku, lalu dia sedang apa? Aku hanya bingung melihat sikapnya, tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke tempat buah di sekitar situ, lapar sekali perutku. Aku sengaja berjalan memunggunginya seolah tak melihatnya, berharap dia akan memanggilku atau mungkin menyusul langkahku. Tapi lagi-lagi tidak. Setelah aku kembali, dia juga sudah kembali ke kost-nya. Aku pun kembali ke kost-ku dengan langkah pelan, berusaha agar tidak bersedih.
                9 Maret 2015 adalah hari dimana bulan dan matahari akhirnya berpapasan, yap gerhana. Gerhana, judul puisi yang ia karang untuk ku ketika aku berulang tahun kemarin, salah satu hadiah terbaik pada ulang tahunku, priceless, tak ternilai dengan apapun. Tapi hari ini sengaja aku tak mengabarinya, aku takut. Hanya takut membaca pesan-pesan yang ia kirimkan padaku kemarin malam, pesan-pesan yang membuatku sulit tidur karena mataku terus mengeluarkan air mata, tetapi akhirnya aku tertidur karena lelah menangis.
                Maafkan aku yang mungkin berubah di matamu, maafkan aku yang kekanak-kanakan ini, membiarkan egoku juga menandingi egomu, sehingga kita seperti sekarang. Satu hal yang aku ingin kau tahu, aku langsung membaca pesanmu setiap kali kau mengirimkannya padaku, karena tak ada pesan lain yang kutunggu. Aku hanya tak mampu membalasnya. Bukan karena aku tak punya waktu, tapi karena aku kehabisan kata untuk berbicara denganmu. Hari ini, kuberikan ruang diantara kita, berharap kita bisa berpikir dimanakah kita harus menempatkan ‘kita’ , di pikiran kah? Di hatikah? Di setiap menitkah? Atau bisa hanya sesekali muncul di dalam pikiran? Bukan karena kau sibuk dengan urusanmu yang membuatku begini, tetapi karena aku hanya ingin ‘kita’ yang seperti biasanya.
                Aku tetap ingat bahwa besok adalah 10 kita yang ke-15 bukan? Tentu aku sangat ingin mengabarimu, tertawa denganmu di telfon dan tertidur karena perasaan bahagia itu. Sepanjang hari hanya sepi yang kurasakan. Ternyata benar apa yang dikatakan seorang penulis yang bukunya sedang kubaca sekarang, “ Tidak ada yang  bisa membantu selain waktu. Tetapi agar waktu berbaik hati, kita juga harus berbaik hati padanya,dengan menyibukkan diri. Sendiri hanya mengundang rasa sesal. Sepi hanya mengundangan lipatan-lipatan kesedihan lainnya”. Meskipun aku tak menghubungimu karena sedang berusaha menyibukkan diri, tetapi percayalah kau selalu terlintas di benakku. Setiap angka jarum jam menunjukkan pukul 10, atau lewat 10 menit, atau kurang 10 menit menuju jam berikutnya, kaulah yang tetap kuingat. Semoga kita bisa mengawali 10 kita yang ke-15 dengan kebahagiaan.
Jika kau membaca tulisanku ini, anggap saja ini hadiah untuk 10 kita yang ke-15 :)
Salam sayang, Thasya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

San-x Character List ^O^

Rilakkuma (● ㉦ ●)

"Twilight Saga's Stuff"