Postingan

Acak

Aku tak tahu berapa angin dingin yang sudah terlewati, yang kutahu, rasanya tak semenusuk waktu itu lagi. Kenangan-kenangan itu masih mondar mandir di kepalaku Sesekali aku masih merasa, tapi sepertinya waktu memaksanya pudar juga ya? Jelas sudah kita terpisah berjalan di lajur masing-masing. Tapi kita, masing-masing masih bisa tertawa bukan? Sesekali, malam yang sunyi membuatku teringat hal-hal yang manis itu lagi. Setiap jalan yang kupijak masih menyimpan cerita kita dahulu. Hembusan angin masih mengingatkanku pada rasa yang hangat dulu. Walau hanya dalam kenangan, tapi masih bisa kuingat rasanya di kenyataan. Mungkin kau baru akan teringat ketika sedang minum sendiri, mungkin teringat padaku, atau mungkin tidak. Melihatmu bisa tertawa, tidak murung pun aku bersyukur. Entah kenapa aku menulis lagi, tapi yang ingin kusampaikan adalah, menghapus "kita" adalah hal mustahil. Ingatan tentang kau dan aku masih kuat, rasanya masih dalam, setidaknya rasaku. Yang

Yang Tak Terjawab

Dahulu orang-orang tua sering berkata "Punyalah hati yang lapang" Saat itu aku masih belum mengerti, sampai selapang apa hal yang dimaknai sebagai "hati" oleh manusia. Sedikit goresan, sedikit cacian bukanlah penghalangnya. Kerasnya pengkhianatan, perihnya ditinggalkan bukanlah tandingannya. Yang sulit justru bukan mengucapkan maaf, tapi justru meyakinkan bahwa benak dan hati memang sejalan. Gunanya ingatan bukan hanya untuk sekedar mengenang yang buruk. Tetapi justru mempertahankan memori yang pernah membuat hati berbunga pada waktu itu. Ikhlas. Berapa mulut yang sudah mengucapkan kata ini, tapi berapa hati yang benar-benar merasakannya? Mampukah maaf mengobati goresan-goresan tak terlihat itu? Terbayarkah sabar yang tiada batas itu dengan keikhlasan? Aku juga belum tahu jawabannya. Tapi satu hal yang pasti, semakin penasaran aku dibuatnya. Membuatku semakin ingin sampai pada titik dimana hati tak perlu lagi merintih perih, ingatan tak perlu l

Aku takut Kau lupa

Tidak lagi aku bertanya kabar Tak juga kau mengabari Tidak lagi aku ingin tahu kau sedang apa Tak juga kau memberi tahu Tidak lagi sering berjumpa, apalagi bertegur sapa Tak juga kita berkomunikasi Tidak lagi kuucap cinta Tak juga ada tanya darimu untukku Tidak lagi ada keberanian diri untuk berucap rindu, Tidak lagi ada keteguhan hati untuk menyampaikan kasih, Tapi masih juga kata-kata tentangmu tak habis-habisnya kutuliskan disini. Semata-mata karena aku takut. Takut kalau kau lupa, masih ada aku di hatimu. Masih ada kau, selalu di nadiku.

Teriakan Wanita

Di malam-malam yang sunyi, Yang anginnya berhembus menusuk hingga ke tulang Masihkah kau mendengar? Mungkin ada wanita paruh baya yang menahan rindu pada anak yang merantau Matanya tak terpejam sampai cekungan hitam tampak di bawah matanya Khawatir gerangan di sebrang pulau masihkah seperti yang ada di ingatannya? Berharap pipi dengan semburat merah jambu itu, mata bulan sabit itu tetap lengkung karena senyumannya. Di rumah satunya, Menangis pilu seorang Ibu. Tak jauh anak dari pelukan. Namun sang anak tak henti-hentinya merengek bak ditinggal pergi sang Ibu. Sembilu hatinya melihat hujan yang tak kunjung reda itu. Mungkin juga, Ada seorang dara yang remuk jiwanya. Bukan perkara ditinggal kekasih, bukan juga sesak karena sepi. Kiranya sama seperti dua wanita tadi, ingin teriak tapi suara pun tak terdengar. Menjerit hatinya, meronta benaknya. Adakah yang mendengar? Masihkah kau mendengar? Dua puluh tujuh lalu masih bisa aku berlari mengetuk pintu, menangis sejadi

Bulanku

Bulanku sangat suka ketenangan, Angin bahkan berhembus sayup-sayup karena tak ingin mengusiknya. Kala rintikan hujan harus jatuh, dijatuhkannya dengan pelan tetes demi tetesnya. Supaya Bulanku tak terganggu karena gemericiknya. Bulanku tetaplah seterang dahulu, cahayanya masih sekuat yang ada di ingatanku. Hanya kadang, hangatnya tak kurasa seperti dahulu. Tetaplah bersinar Bulanku, biarlah senja menjadi saksi satu-satunya, kala aku dan kau bisa berpapasan setiap hari. Tertanda, Mataharimu yang rindu. (Aku sudah rindu sejak cahayaku masih terang, meski malammu belum tiba. Aku sudah rindu sejak itu)

Rindu

" Jika kau berusaha menghapus ingatanmu, kau hanya akan mengingatnya kembali ." " Semakin kau menghapusnya, ingatannya justru semakin jelas ." Itu lirik lagu yang sedang kudengar ketika hujan turun hari ini. Akhir pekan ini, ketika aku sedang bersih-bersih, aku melihat tulisanya di mejaku. Ketika aku membuka kotak di laci, aku menemukan surat yang ia berikan ketika ulang tahunku. Di laci yang lain, kutemukan lagi beberapa lembar foto bersamanya. Semakin aku membersihkan setiap sudut kamarku, semakin aku menyadari bahwa ini rupanya rindu. Bukan karena barang-barang itu, tapi karena kenangannya. Tiga tahun sungguh bukan waktu yang sebentar bukan? Dua puluh hari ini pun belum mampu menghapus kenangannya. Aku tidak berusaha menghapusnya, tapi aku juga tak ingin terus mengingatnya. Bisa apa rindu kalau tidak diucapkan? Berapa rindu yang sudah kutukar dengan doa untuknya. Sesekali, ketika aku tak sengaja melihatnya "Ah,mungkin ini dariNya, untuk meringank

Hanya Hujan

Bagai daun yang ada di penghujung ranting Telah kuning warnanya yang semula hijau Sudah berapa hembusan angin yang menerpanya Tapi ia tetap juga tak ingin luruh Sudah berapa rembulan hadir meneranginya Tapi ia tetap tak ingin gugur Ia menunggu dengan tabah rintikan hujan itu Di kala hujan datang Daun yang menguning itu hanya bisa pasrah Dibiarkannya rintik-rintik hujan membasahinya Diruntuhkannya pertahanan yang ia gantung pada sang ranting Jatuh pun tak apa, Selama hujan yang membuatku jatuh. Hanya hujan yang kurindukan, hanya hujan yang membuatku ingin bertahan dan gugur. Catatan :  Senin ini hujan lagi. Yang kuingat juga tetap kau lagi.